Berikut contoh teks ulasan film
"Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" yang saya modifikasi dari berbagai
sumber:
Orientasi :
Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk merupakan
adaptasi dari roman karya Buya Hamka yang diangkat ke layar lebar dan
dibintangi oleh Herjunot Ali, Pevita Pearce, dan Reza Rahadian. TKVDW mulai
diputar di bioskop Indonesia pada tanggal 19 Desember 2013. Film arahan Sunil
Soraya ini menurut situs filmindonesia.or.id berhasil menduduki peringkat teratas sebagai
film paling banyak ditonton sepanjang tahun 2013. Di film ini, rangkaian
kata-kata indah dari Buya Hamka bisa kita nikmati melalui karakter Zainuddin
dan Hayati.
Tafsiran :
Tafsiran :
Dikisahkan, tahun 1930, dari tanah kelahirannya
Makasar, Zainuddin (Herjunot Ali) berlayar menuju tanah kelahiran ayahnya di
Batipuh, Padang Panjang. Diantara keindahan ranah negeri Minangkabau ia bertemu
Hayati (Pevita Pearce), gadis cantik jelita, bunga di persukuannya. Zainuddin
yang memendam perasaan pada Hayati seketika menjadi pujangga dengan memberikan
kata-kata yang mampu menusuk perasaan wanita yang memiliki kecantikan alami
tersebut melalui rangkaian kalimat indah yang ia karang sendiri.
Setelah disuguhi oleh alur romantisme, penonton kemudian diajak untuk memasuki wilayah konflik, yaitu ketika hubungan berbeda budaya ini ditentang oleh para ninik-mamak Hayati dan juga para tetua suku karena Zainuddin dianggap bukan seorang yang berdarah Minang. Selain itu, Zainuddin bukan termasuk seorang pria mapan sehingga dianggap tidak cocok untuk dijadikan sebagai sandaran hidup Hayati. Lalu, pada akhirnya para tetua memutuskan agar Zainuddin segera angkat kaki dari Batipuh agar tidak berhubungan dengan Hayati lagi.
Sebelum meninggalkan Batipuh, Zainuddin dan Hayati mengucapkan janji setia akan menjalani hidup bersama di suatu saat nanti. Mereka menelurkan ikrar di sebuah danau tempat Zainuddin biasa menulis.
Tetapi sebuah kenyataan kembali datang kepada diri seorang Zainuddin, di tengah gelimang harta dan kemashyurannya. Dalam sebuah pertunjukan opera, Zainuddin kembali bertemu Hayati, kali ini bersama Aziz, suaminya. Perkawinan harta dan kecantikan bertemu dengan cinta suci yang tak lekang waktu. Pada akhirnya kisah cinta Zainuddin dan Hayati menemui ujian terberatnya, dalam sebuah tragedi pelayaran kapal Van Der Wijck.
Setelah disuguhi oleh alur romantisme, penonton kemudian diajak untuk memasuki wilayah konflik, yaitu ketika hubungan berbeda budaya ini ditentang oleh para ninik-mamak Hayati dan juga para tetua suku karena Zainuddin dianggap bukan seorang yang berdarah Minang. Selain itu, Zainuddin bukan termasuk seorang pria mapan sehingga dianggap tidak cocok untuk dijadikan sebagai sandaran hidup Hayati. Lalu, pada akhirnya para tetua memutuskan agar Zainuddin segera angkat kaki dari Batipuh agar tidak berhubungan dengan Hayati lagi.
Sebelum meninggalkan Batipuh, Zainuddin dan Hayati mengucapkan janji setia akan menjalani hidup bersama di suatu saat nanti. Mereka menelurkan ikrar di sebuah danau tempat Zainuddin biasa menulis.
Tetapi sebuah kenyataan kembali datang kepada diri seorang Zainuddin, di tengah gelimang harta dan kemashyurannya. Dalam sebuah pertunjukan opera, Zainuddin kembali bertemu Hayati, kali ini bersama Aziz, suaminya. Perkawinan harta dan kecantikan bertemu dengan cinta suci yang tak lekang waktu. Pada akhirnya kisah cinta Zainuddin dan Hayati menemui ujian terberatnya, dalam sebuah tragedi pelayaran kapal Van Der Wijck.
Evaluasi :
Film berdurasi 165 menit ini menyuguhkan artistik dan
properti ala tahun 1930-an yang terkesan berbau kekinian, kurang meyakinkan
untuk mendukung suasana 1930-an. Tak cukup sekadar mobil kuno yang masih
kinclong, latar Batavia juga hanya mengambil seadanya dari setting kota
tua.
Hal yang paling terasa adalah alur ceritanya yang cukup lambat diperparah lagi dengan banyaknya dialog surat-menyurat antara Zainuddin dan Hayati, seolah tidak ada cara lain yang lebih kreatif dalam menyampaikan adegan surat menyurat. Akibatnya konflik berjalan tidak menarik, naik sebentar setelah itu datar. Backsound lagu-lagunya Nidji pun terkesan mengganggu adegan demi adegan, entah karena warna musik pop dan instrumen musik modern mereka atau karena kurang pas masuk ke plot film. Kalaupun mereka memang dipilih untuk mengisi soundtrack, seharusnya tidak perlu dimainkan terus-menerus di sejumlah adegan. Cukup mainkan saja di end-credit, agar tidak mengganggu nuansa zaman dulunya. Belum lagi ketika di tengah-tengah film, muncul musik dugem pada saat mereka menari-nari di pesta yang terdengar seperti dugem masa kini.
Kekurangan lainnya adalah special effect kapal bisa dikatakan pas-pasan. Tenggelamnya pun tak jelas apa penyebabnya (Ingat kapal Titanic, tenggelam karena menabrak karang). Terkesan dipaksakan, seolah hanya mau tenggelam saja, biar sesuai judul, kurang dramatis. Pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa kapal yang hanya muncul sekian menit jelang akhir film ini menjadi hal penting sehingga menjadi judul? Apakah naskah yang kurang mampu menerjemahkan novel aslinya?
Rangkuman :
Hal yang paling terasa adalah alur ceritanya yang cukup lambat diperparah lagi dengan banyaknya dialog surat-menyurat antara Zainuddin dan Hayati, seolah tidak ada cara lain yang lebih kreatif dalam menyampaikan adegan surat menyurat. Akibatnya konflik berjalan tidak menarik, naik sebentar setelah itu datar. Backsound lagu-lagunya Nidji pun terkesan mengganggu adegan demi adegan, entah karena warna musik pop dan instrumen musik modern mereka atau karena kurang pas masuk ke plot film. Kalaupun mereka memang dipilih untuk mengisi soundtrack, seharusnya tidak perlu dimainkan terus-menerus di sejumlah adegan. Cukup mainkan saja di end-credit, agar tidak mengganggu nuansa zaman dulunya. Belum lagi ketika di tengah-tengah film, muncul musik dugem pada saat mereka menari-nari di pesta yang terdengar seperti dugem masa kini.
Kekurangan lainnya adalah special effect kapal bisa dikatakan pas-pasan. Tenggelamnya pun tak jelas apa penyebabnya (Ingat kapal Titanic, tenggelam karena menabrak karang). Terkesan dipaksakan, seolah hanya mau tenggelam saja, biar sesuai judul, kurang dramatis. Pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa kapal yang hanya muncul sekian menit jelang akhir film ini menjadi hal penting sehingga menjadi judul? Apakah naskah yang kurang mampu menerjemahkan novel aslinya?
Rangkuman :
Dengan mengesampingkan beberapa kekurangan tadi, film
ini tetap memiliki daya tarik dari segi dialog yang dipilih dan kostum yang
apik dari Samuel Wattimena, selain kepopuleran para pemainnya. Dialog yang
cenderung puitis, tidak jauh berbeda dari novel aslinya, menjadi penghibur buat
penonton. Tidak begitu mengecewakan dibanding kalau kita menonton film dengan
tema yang menonjolkan kemewahan atau hantu-hantuan yang sempat ramai di film
kita. Setidaknya, film ini turut andil menumbuhkan asa bagi perkembangan film
Indonesia yang sempat mati suri agar semakin berkembang lebih baik lagi. Yang
pasti, penonton memiliki pilihan dalam memuaskan dahaga akan film nasional.